ISLAM THE NEWS

Sabtu, 20 September 2008

Apakah Sekarang Sudah Bukan Saatnya Lagi Untuk Mendakwahkah Aqidah dan Tauhid, Sebagaimana yang Dikatakan Oleh Orang-Orang Harokah dan Hizbiyun ?


Dengan bertawakkal kepada Allah Subhanahu wata’ala

M E M U T U S K A N

MENETAPKAN : FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH

[1] Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)’

[2] Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.

[3] Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H

29 Juli 2005 M


[KEPUTUSAN FATWA MUI Nomor : 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang ALIRAN AHMADIYAH]


Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Perhatian umat untuk memperbaiki kondisi kaum muslimin yang terbelakang dan senantiasa banyak menelan kekalahan sebenarnya cukup tinggi. Lihatlah, demikian banyak tokoh atau kelompok yang berupaya melakukan perbaikan dengan berbagai cara dan trik. Namun sayang, sampai sekarang kondisi umat masih begini-begini saja, malah terlihat makin terpuruk. Apa penyebabnya?

Tahukah anda apa yang dimaksud dengan kata-kata kulit? Dan siapakah yang memunculkan statemen ini?Kulit dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang enteng, remeh, kecil tidak berguna, dan akan dibuang. Padahal secara rasio, kulit itu sangat menentukan isi dan bila kulit itu rusak maka isinya pun akan ikut rusak. Bahkan terkadang kulit lebih besar manfaatnya dari isinya.

Anda bisa membayangkan bila aqidah dan tauhid sebagai sesuatu yang prinsipil di dalam agama hanya dianggap sebagai kulit oleh mereka. Yang memunculkan statemen ini adalah ahli bid’ah dari kalangan hizbiyyun.


Ketahuilah bahwa kerusakan moral di dalam beragama sesungguhnya merupakan imbas kerusakan aqidah dan tauhid. Kerusakan peribadahan setiap orang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan akibat dari kerusakan aqidah dan tauhid. Kerusakan bermuamalah dengan sesama merupakan percikan dari kerusakan aqidah dan tauhid. Kerusakan dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan implementasi dari kerusakan aqidah dan tauhid. Kerusakan aqidah dan tauhid merupakan muara dan poros dari segala kerusakan di muka bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam firman-Nya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan-tangan manusia, dan Allah akan merasakan kepada mereka akibat perbuatan mereka agar mereka mau kembali.” (Ar-Rum: 41)

Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menvonis suatu kaum atau individu sebagai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi dan menjelaskan bentuk-bentuk kerusakan mereka.

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menvonis orang-orang munafik dengan kekufurannya sebagai perusak di muka bumi, setelah mereka mencoba cuci tangan dari berbuat kerusakan.

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ. أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَلَكِنْ لاَ يَشْعُرُوْنَ

“Dan bila dikatakan kepada mereka janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi! Mereka menjawab: “Bahkan sesungguhnya kamilah yang melakukan perbaikan. (Allah mengatakan) ketahuilah sesungguhnya merekalah yang melakukan kerusakan namun mereka tidak merasa.” (Al-Baqarah: 11-12)

2. Allah telah menvonis orang-orang yang ingkar kepada Allah dan kepada para rasul sebagai perusak di muka bumi.

وَالَّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيْثَاقِهِ وَيَقْطَعُوْنَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِي اْلأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوْءُ الدَّارِ

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah telah perintahkan untuk dihubungkan dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang telah memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (Ar-Ra’du: 25)

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala menvonis kaum Nabi Shalih yang menentang seruannya sebagai perusak di muka bumi.

الَّذِيْنَ يُفْسِدُوْنَ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ يُصْلِحُوْنَ

“Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (Asy-Syu’ara`: 152)

وَكَانَ فِي الْمَدِيْنَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُوْنَ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ يُصْلِحُوْنَ

“Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (An-Naml: 48)

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala menvonis Fir’aun dengan segala tindak tanduknya sebagai perusak.

آْلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ

“Apakah sekarang (baru kamu mau percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yunus: 91)

5. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam banyak ayat telah memerintahkan kepada setiap hamba-hamba-Nya agar melihat apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perbuat terhadap kaum yang melakukan kerusakan, seperti di dalam Surat Al-‘Araf ayat 86 dan 103 dan Surat An-Naml ayat 14.

وَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ

“Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan.” (Al-A’raf: 86)

Dari gambaran ayat di atas, betapa jelasnya makna perbuatan merusak di muka bumi. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengutus seluruh rasul untuk melakukan perombakan dan perbaikan atas segala bentuk kerusakan tersebut. Perlu diingat bahwa para nabi tidak membuat rancangan sendiri dalam melakukan perbaikan situasi dan kondisi. Namun mereka menunggu wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tugas yang pertama kali mereka emban adalah pembaharuan landasan dan prinsip hidup, itulah aqidah dan tauhid. Alangkah naifnya jika anda mengatakan prinsip dan landasan itu sebagai kulit.

Angan-angan yang Salah

Banyak orang berangan-angan untuk bisa mengubah sebuah situasi yang buruk untuk kemudian menjadi baik, yang terbelakang dan mundur untuk menjadi maju dan berkembang. Sehingga bermunculan ide-ide dari berbagai lapisan, diiringi perdebatan sengit untuk memunculkan ide tersebut. Mulai dari yang paham agama sampai orang yang tidak mengerti agama, ikut mengambil bagian dalam membicarakan perbaikan moral dan kerusakan umat. Tentunya dengan berbagai macam jenis manusia itu akan melahirkan ide yang beraneka ragam.

Yang mengerti sedikit ilmu agama, akan melakukan tinjauan dengan keterbatasan ilmu agama yang ada pada dirinya. Dan yang hanya mengerti tentang ilmu dunia akan menjawabnya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ada juga poros ketiga yang berusaha mempertemukan semua ide tersebut sehingga bisa seiring dan sejalan serta tidak bertentangan, sekalipun alat timbangnya bukan agama.

Sungguh, jika mereka membuka kembali lembaran-lembaran Al-Qur`an dan As-Sunnah yang menceritakan seruan pembaharuan yang dilakukan oleh para rasul, niscaya mereka akan menemukan jawabannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ فَسِيْرُوا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah dan jauhilah thagut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Aku maka sembahlah Aku oleh kalian’.” (Al-Anbiya`: 25)

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيْرٌ مُبِيْنٌ. أَنْ لاَ تَعْبُدُوا إِلاَّ اللهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan mengatakan): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata kepada kalian yaitu agar kalian tidak menyembah kecuali kepada Allah dan aku khawatir menimpa kalian pada suatu hari adzab yang pedih.” (Hud: 25-26)

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوْدًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

“Dan kepada kaum ‘Ad kami mengutus kepada mereka saudara mereka Hud dan (dia) berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, kalian tidak memiliki sesembahan selain Dia, maka tidakkah kalian takut?” (Al-A’raf: 65)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيْقًا نَبِيًّا. إِذْ قَالَ لأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لاَ يَسْمَعُ وَلاَ يُبْصِرُ وَلاَ يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا. يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا. يَا أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا. يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini, sesungguhnya dia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak melihat dan tidak bisa menolongmu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Rabb yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Rabb Yang Maha Pemurah maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 41-45)

Wahai para da’i kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apa yang engkau ambil manfaat dari kisah pembaharuan para nabi dan rasul tersebut?

Inilah Nabi Musa yang berada di bawah kekuasaan pemerintah yang sangat kufur, bahkan menobatkan dirinya sebagai Rabb semesta alam, berundang-undang dengan undang-undang iblis, membunuh anak-anak laki dan membiarkan hidup anak-anak perempuan.

إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلاَ فِي اْلأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat semena-mena di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi Musa:

وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوْحَى. إِنَّنِي أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي. إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيْهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

“Dan Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah kepada apa yang kamu diwahyukan: Sesungguhnya Aku adalah Allah dan tidak ada sesembahan yang benar melainkan Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Sesungguhnya hari kiamat pasti datang dan Aku menyembunyikannya agar setiap orang dibalas apa yang telah diperbuat.” (Thaha: 15)

Inilah Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang dihinakan di dalam penjara dan disejajarkan dengan para pelaku maksiat. Beliau tidak mengajak para penghuni penjara mencaci maki penguasa dan membakar semangat mereka untuk menentang pemerintah yang diktator dan mempersiapkan kekuatan untuk melakukan perombakan hukum dan segala tatanan hidup kenegaraan yang kafir. Namun yang beliau serukan di dalam penjara adalah:

يَاصَاحِبَيِ السِّجْنِ أأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُوْنَ خَيْرٌ أَمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ. مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ إِلاَّ أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوْهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama dan nenek moyangmu membuatnya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah keputusan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 39-40)

Dan inilah rasul terakhir dan penutup semua rasul, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau diutus kepada kaum yang rusak segala-galanya, bahkan mereka bagaikan binatang yang berwujud manusia. Tidak ada halal dan haram, tidak ada aturan yang mengikat perbuatan mereka. Kerusakan hidup tingkat tertinggi dan segala bentuk kejahatan terkumpul di saat itu. Apakah yang beliau perbuat untuk melakukan perombakan tatanan kehidupan jahiliyah lagi hewani tersebut dan apa tugas yang diemban dari Allah Subhanahu wa Ta’ala? Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan di dalam firman-firman-Nya:

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ. وَأُمِرْتُ لأَنْ أَكُوْنَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ. قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِيْنِي

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama berserah diri. Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabbku. Katakan, hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (Az-Zumar: 11-14)

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur`an) dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Az-Zumar: 2) [Lihat secara ringkas kitab Manhajul Anbiya` Fii Ad-Da’wati Ilallah Fiihi Al-Hikmatu Wal ‘Aql karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 41-77]

Langkah yang Benar

Kini tahukah anda, bahwa angan-angan manusia untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang telah rusak dengan cara seperti itu, ternyata keliru dan jauh dari syariat? Sehingga setelah itu anda mengetahui bahwa jalan yang benar untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang telah rusak adalah dengan menempuh jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah ditapaki oleh para rasul. Kembali kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya kembali kepada agama-Nya. Berikut petikan indah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah mempraktekkan jual beli dengan ‘inah (salah satu bentuk jual beli riba), kalian melakukan kedzaliman, cinta kepada cocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan dan tidak akan tercabut kehinaan tersebut sehingga kalian kembali kepada agama kalian.” [HR. Al-Imam Abu Dawud no. 3003, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 1 hadits no. 11]

Agama mana yang dimaksud sehingga bisa mengembalikan kejayaan dan kemuliaan kaum muslimin? Apakah agama yang dipahami dengan akal? Ataukah agama yang dipahami oleh kelompok dan golongan tertentu? Ataukah yang dipahami oleh nenek-nenek moyang? Ataukah yang dipahami oleh guru-guru besar? Atau bagaimana?

Tentu hal ini telah ada jawabannya:

Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur`an:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sungguh telah ada pada diri rasul kalian suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan berjumpa dengan Allah dan hari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

“Barangsiapa yang menentang Rasulullah setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan kaum mukminin maka Kami akan memalingkannya kemana dia berpaling dan Kami akan nyalakan baginya neraka Jahannam dan Neraka Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan di dalam sabda-sabda beliau:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Hendaklah kalian menempuh sunnahku dan sunnah Al-Khulafa`ur Rasyidin setelahku, gigitlah dia dengan gigi geraham dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru (di dalam agama) karena perkara-perkara baru di dalam agama adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan itu adalah sesat.” [HR. Al-Imam Abu Dawud no. 3991, Ibnu Majah no. 42, Ahmad no. 165 dan Ad-Darimi no. 95 dari shahabat ‘Irbadh bin Sariyah. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2735]

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 2457, 2458 dan Al-Imam Muslim no. 4600, 4601, 4602 dari shahabat Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash]

Ketiga, beberapa ucapan ulama Salaf:

 Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Ikutilah oleh kalian dan jangan kalian mengada-ada sungguh (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah cukup buat kalian.” [Atsar Ibnu Mas’ud adalah shahih diriwayatkan oleh beberapa tabi’in. Di antaranya Abu Abdurrahman As-Sulami diriwayatkan oleh Al-Imam Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir (8870), Ad-Darimi (211), Al-Baihaqi di dalam Al-Madkhal (204) dan Ibnu Wadhdhah di dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha hal. 10. Juga dari Ibrahim An-Nakha’i diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah di dalam kitab Al-‘Ilmu, serta dari Qatadah diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah (hal. 11)]

 ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu mengatakan: “Berhentilah kamu di mana kaum itu (para shahabat) berhenti. Sesungguhnya mereka berhenti di atas ilmu, dan di atas ilmu pula mereka menahan diri, dan mereka lebih sanggup untuk membuka (perbendaharaan ilmu) dan jika memiliki keutamaan merekalah yang lebih dahulu. Jika kalian mengatakan: ‘Telah muncul perkara baru setelah mereka (shahabat).’ Maka tidak ada yang mengadakannya kecuali orang yang menyelisihi dan benci mengikuti jalan mereka. Mereka telah mensifati segala apa yang menyembuhkan dan berbicara yang mencukupkan. Melebihi mereka adalah melampaui batas dan menguranginya adalah meremehkan. Maka tatkala suatu kaum meremehkan mereka, mereka menjadi kaku. Dan ketika kaum itu melampau batas, mereka menjadi berlebihan. Dan sesungguhnya jika mereka berada di tengah-tengah, sungguh mereka berada di atas jalan yang lurus.” [Lihat Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah dan beliau sebutkan pula di dalam kitab beliau Al-Burhan Fi Bayanil Qur`an hal. 88 dan 89]

 Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Tidak ada yang akan memperbaiki situasi dan kondisi umat sekarang ini melainkan harus kembali kepada apa yang telah memperbaiki umat terdahulu.” [Lihat Kitab ‘Ilmu Ushulil Bida’ karya Asy-Syaikh Ali Hasan Ali bin Abdul Hamid]

 Abu ‘Amr Al-Auza’I rahimahullahu berkata: “Sabarkan dirimu di atas As-Sunnah! Berhentilah di mana kaum (Salafus Shalih) berhenti dan katakan (semisal) apa yang mereka telah katakan, dan tahan dirimu pada hal-hal yang mereka menahan diri. Tempuhlah jalan Salafmu yang shalih, niscaya kamu akan mendapatkan apa yang mereka telah dapatkan.” [Lihat Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 1/174]

Dalam kesempatan yang lain berkata: “Hendaklah kamu menempuh jalan Salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan berhati-hatilah dari pendapat banyak orang sekalipun mereka hiasi dengan ucapan- ucapan.” [Lihat Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 1/159 dan Lum’atul I’tiqad masalah 9]

Dari dalil-dalil di atas kita mengetahui Islam yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Islam yang akan mengembalikan kejayaan, kemuliaan, dan keemasan Islam serta kaum muslimin. Itulah agama yang difahami, diamalkan dan didakwahkan oleh salaf umat ini yang shalih. Mereka adalah para shahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.

Berarti jalan yang sesuai dengan syariat dalam menjawab problematika umat sekarang ini adalah:

Pertama: Menyebarkan aqidah yang benar di tengah kaum muslimin.
Kedua: Kembali ke jalan Salafush Shalih dalam memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam.
Ketiga: Menyebarkan ilmu yang benar yaitu ilmu yang berlandaskan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman Salaf umat ini.
Keempat: Mentarbiyah (mendidik) generasi Islam di atas agama yang mushaffa (bersih).
Kelima: Menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar
Keenam: Mendirikan shalat
Ketujuh: Menunaikan zakat
(diambil dari kaset Keindahan Islam, Asy-Syaikh Musa Alu Nashr)

Aqidah yang Benar

Munculnya berbagai keyakinan di tengah kaum muslimin memiliki dampak demikian besar dalam beragama. Bagaimana tidak, banyak dari kaum muslimin menganggap sesuatu yang menurut agama merupakan kesyirikan, sebagai tauhid yang harus diyakini dan dipegang seumur hidup. Dan begitu sebaliknya, ketauhidan dianggap sebagai ajaran baru dan menyesatkan yang harus dimusuhi dan diperangi. Sunnah menjadi bid’ah dan bid’ah menjadi sunnah, kebatilan sebagai kebenaran dan kebenaran menjadi sesuatu yang samar. Dengan fenomena yang menyedihkan ini kita dituntut untuk belajar guna mengetahui aqidah yang benar untuk kemudian bisa memilahnya dari aqidah yang jelek. Aqidah yang benar adalah aqidah yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih (benar datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dipahami dengan pemahaman Salafush Shalih umat ini. (‘Aqidatu Tauhid karya DR. Shalih bin Fauzan hal. 11)

Meremehkan Aqidah dan Tauhid

Aqidah dan tauhid memiliki kedudukan tinggi dan sangat besar di dalam agama. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya meletakkan keduanya dalam prinsip yang pertama dan utama di dalam agama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Berilmulah kamu tentang Laa Ilaha Illallah.” (Muhammad: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima dasar: Mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah…” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu ‘Umar]

فَلْيَكُمْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah mempersaksikan kalimat La Ilaha illallah.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu ‘Abbas]

Dengan sebab itulah para nabi dan rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, adanya perintah amar ma’ruf nahi munkar, ditegakkannya jihad, ada hari pembalasan, ada hari hisab (perhitungan), adanya timbangan dan adanya surga dan neraka. Bila engkau meremehkan masalah aqidah dan tauhid dengan menyebutnya sebagai kulit agama atau ucapan lain yang semakna, berarti engkau telah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan melakukan dosa besar. Engkau berada dalam ambang marabahaya yang dahsyat dan di tepi jurang kehinaan serta kehancuran. Dikhawatirkan engkau keluar dari Islam. Engkau wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari perbuatanmu, yaitu meremehkan sesuatu yang karenanya diutus para nabi dan rasul serta diturunkannya kitab-kitab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam.

Sumber :Majalah Asy Syariah dengan judul Asli "Bila Akidah dan Tauhid Dianggap Kulit Agama"



Read more...

CELOTEH AHLUL BID'AH DALAM KULTUM RAMADHAN

Oleh :Abu Harun As Salafy

Adalah Muhammad ibnu Sirin Rahimahullah berkata, "Ilmu itu agama, maka perhatikan dari mana kalian mengambil agama kalian" pernyataan ini mirip sama dengan apa yang dikatakan salafus shalih lainnya karena ini perkataan emas bagi para penuntut ilmu untuk mendengarkan kajian dan mengambil ilmu dari sumber yang shahih.

Demikian pula Ibnu Umar Radiyallahu anhuma berkata,”Berhati-hatilah terhadap agamamu, sebab dia adalah darah dagingmu. Lihatlah dari mana kamu mengambilnya. Ambillah dari orang istiqomah dan janganlah mengambil dari orang yang menyeleweng.” (Al Kifayah, hal 121).


Dan bulan Ramadhan ini menjadi ajang bagi semua masjid untuk memberi nasihat kepada kaum Muslimin, di antara da’i yang mengisi bisa jadi adalah seorang mubtadi’, Hizbiy, Surury, dan Salafy.

Seorang mubtadi’ ketika menyampaikan kultum seringkali berdalil dengan hadits-hadits dhaif dan maudhu’. Apalagi kalau ia seorang Shufi, wuih bisa dibumbui dengan cerita-cerita khurafat. Adapun seorang hizbiy dan Surury terkadang penyampaiannya adalah sesuai dengan kebenaran namun manhaj yang bercampur aduk pada dirinya menjadikan hati manusia yang lemah bisa ikut terpesona hingga mengikuti dirinya dalam belenggu hizbiyyah dan fitnah Sururiyah

Maka dari itu jalan yang selamat adalah mencari masjid yang tidak ada kultumnya. Atau Sholat Isya dan Tarawih berjamaah di masjid, dan ketika kultum dimulai imma pulang wa imma keluar menuju teras masjid untuk membaca Al Quran. Wallahu a’lam

Read more...

BERHARI RAYA DENGAN PEMERINTAH

FATWA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH


Pertanyaan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya : Tentang sebagian penduduk sebuah kota melihat hilal Dzul Hijjah. Tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang zhahirnya tanggal 9 (Dzul Hijjah), padahal yang sebenarnya 10 (Dzul Hijjah)?

Jawaban
Benar. Mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yang secara zhahir diketahui mereka, sekalipun hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (Dzul Hijjah), jika memang ru’yah mereka benar. Sesungguhnya di dalam Sunnah (disebutkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi, Beliau bersabda.

“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih [1] [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkannya]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah telah bersabda, “(Idul) Fitri, (yaitu) ketika semua manusia berbuka. Dan Idul Adha, (yaitu) ketika semua orang menyembelih” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi]

Dan perbuatan ini yang berlaku di semua kalangan imam kaum muslimin [2]

Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an. [3]

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ RAHIMAHULLAH

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami para mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda : “Puasalah kalian dengan melihatnya (hilal, -pen) dan berbukalah kalian dengan melihatnya ….” Sampai akhir hadits. Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi, kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari. Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami dan berapa hari kami harus berpuasa ?

Jawaban
Jika anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu berhari raya bersama mereka, pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah.

“Artinya : Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian berbuka”

Akan tetapi jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan tidak akan kurang dari 29 hari. Wallahu Waliyyut Taufiq [4]

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi di negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya ? Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi ? Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, red), ketika mereka mengumumkan masuknya bulan Ramadhan ? Begitu juga denan permasalahan masuknya bulan Syawal, yaitu hari ‘Ied. Bagaimana hukumnya jika dua negara berselisih. Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum muslimin.

Jawaban
Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi.

“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”
Wa Billahi Taufiq [5]

FATWA SYAIKH SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Jika telah pasti masuknya bulan Ramadhan di suatu negara Islam, seperti kerajaan Arab Saudi, sedangkan di negara lain belum diumumkan tentang masuknya, bagaimana hukumnya? Apakah kami berpuasa dengan kerajaan ? Bagaimana permasalahan ini. Jika terjadi perbedaan pada dua negara?

Jawaban
Setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal di sana, dan agar tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal –maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab Saudi.[6]

FATWA LAJNAH DA’IMAH LIL BUHUTS ILMIAH WAL IFTWA ARAB SAUDI

Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Iedul Adha ? Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Iedul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin ?

Jawaban
Para ulama sepakat bahwa Mathla’ Hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat :

Pertama.
Diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya Mathla berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.

Kedua.
Diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias

Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah” [Al-Baqarah : 185]

FirmanNya.

“Artinya :Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah : Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia” [Al-Baqarah : 189]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya”

Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dalam mengambil istidlal dengannya.

Kesimpulannya.
Permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh untuk mengambil hilal yang bukan mathla mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya.

Jika sesama mereka berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim-. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.

Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya.

Tertanda : Wakil Ketua : Abdur Razzaq Afifi. Anngota ; Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani. [7]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Dikutip Dari Fatwa-Fatwa Seputar Hari Raya Dengan Pemerintah, Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah, Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km 8, Selokaton Gondangrejo - Solo]
__________
Foote Note
[1]. HR Tirmidzi, Bab Ma Ja-a Annal Fithra Yauma Tafthurun, Sunan dengan Tuhfah (3/382, 383
[2]. Majmu Fatawa (25/202)
[3]. Tamamul Minnah, hal. 398
[4]. Fatawa Ramadhan 1/145
[5]. Fatawa Ramadhan 1/112
[6]. Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan 3/124
[7]. Fatawa Ramadhan 1/117

Disalin dari almanhaj

Read more...

KESAMAAN KESESATAN SUFI DAN SYIAH

Siapapun yang mengetahui hakikat tasawwuf (Sufi) dan tasyayyu’ (Syi’ah), ia akan mendapatkan keduanya seperti pinang dibelah dua. Keduanya berasal dari sumber yang sama, dan memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, kedua firqah ini memiliki kesamaan dalam pemikiran dan aqidah. Di antara persamaan dua golongan tersebut, ialah:

Pertama. Kaum Syi’ah mengaku memiliki ilmu khusus yang tidak dipunyai kaum muslimin selain mereka. Mereka menisbatkan kedustaan ini kepada Ahlul bait dengan seenak perutnya. Mereka juga mengklaim memiliki mushaf (Al-Qur‘ân) tersendiri, yang mereka sebut Mushaf Fathimah. Menurut keyakinan mereka, mushaf ini memiliki kelebihan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Al- Qur‘ân yang ada di tangan kaum muslimin.2 Mereka menganggap Muhammad diutus dengan tanzil, sedangkan Ali diutus dengan takwil.3


Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menganggap memiliki ilmu hakikat. Sedangkan orang dari luar kalangan mereka, hanya baru sampai pada tingkat ilmu syariat. Mereka beranggapan, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan ilmu laduni kepada mereka, saat orang-orang selain mereka mesti menimba ilmu dengan susah payah dari para ulama. Bahkan salah seorang tokoh Sufi , yaitu al-Busthami sampai berkoar: “Kami telah menyelam di dalam lautan ilmu, sementara para nabi (hanya) berdiri di tepinya”.4 Demikian, persamaan antara Sufi dan Syi’ah dalam masalah ilmu kebatinan.

Kedua. Orang-orang Syi’ah mengkultuskan imam-imam mereka dan menempatkan imam-imam itu dengan kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat dan para rasul. Mereka mengatakan, para imam adalah katub pengaman bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-bintang menjadi pengaman bagi penduduk langit. Apabila para imam diangkat dari muka bumi -walaupun sekejap- maka bumi dan para penduduknya ini akan hancur.5

Khumaini, salah seorang tokoh besar Syi’ah berkata: “Di antara keyakinan madzhab (baca: agama) kami, bahwasanya imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa diraih, sekalipun oleh para malaikat dan para rasul”.6

Bahkan orang-orang Syi’ah memberikan sifat ketuhanan kepada para imam itu, dan menganggap mereka mengetahui segala sesuatu, meski sekecil apapun di alam ini.

Sifat seperti ini pula yang disematkan orang-orang Sufi kepada orang-orang yang mereka anggap sebagai wali. Katanya, “para wali” itu ikut berperan dalam pengaturan alam semesta ini, dan mengetahui ilmu ghaib. Oleh karenanya, orangorang Sufi membentuk suatu badan khusus yang terdiri dari para wali mereka. Tugas badan khusus ini adalah mengatur alam dan seisinya.

Dengan pernyataan ini, maka tidak tersisa lagi hak pengaturan alam semesta bagi Allah Ta’ala. Padahal, hanya milik Allah 'Azza wa Jalla hak untuk mencipta dan mengatur segala urusan. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Ketiga. Anggapan bahwa agama ini memuat perkara zhahir dan batin telah menjadi kesepakatan antara Syi’ah dan Sufiyyah. Menurut mereka, hal yang batin adalah suatu hakikat yang tidak diketahuinya kecuali oleh para imam dan para wali. Sedangkan yang zhahir ialah apa yang terdapat dalam masalah nash-nash yang dipahami oleh orang kebanyakan.

Dr. Abu al-’Ala’ al-’Afifi menjelaskan kronologi munculnya anggapan batil ini yang merasuki aqidah Islamiyyah dengan berkata : “Munculnya pembagian agama kepada syariat dan hakikat, ialah ketika ada pembagian agama menjadi zhahir dan batin. Pembagian seperti ini tidak dikenal oleh kaum muslimin generasi pertama. Pemikiran seperti ini muncul ketika Syiah mengatakan bahwa segala sesuatu memuat perkara yang zhahir dan batin. Al-Qur`ân pun demikian. Bahkan menurut anggapan mereka, setiap ayat dan kalimat Al-Qur`ân mengandung pengertian zhahir dan yang batin. Dan hal-hal yang batin ini tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali orang-orang khusus dari para hamba Allah, yang khusus dipilih untuk memperoleh keutamaan ini. Semua rahasia Al- Qur`ân akan terbuka untuk mereka. Oleh karena itu, mereka memiliki metode khusus dalam menafsirkan Al-Qur`an yang akhirnya melahirkan kumpulan-kumpulan takwil kebatinan terhadap nash-nash Al-Qur`an dan bisikan-bisikan khayalan mereka yang dikenal dengan istilah ilmu bathin. Menurut mereka, hasil penafsiran diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam kepada ‘Ali bin Abi Thâlib. Lantas diwariskan dari beliau kepada orang orang yang memiliki ilmu batin yang menamakan diri mereka dengan sebutan al-Waratsah (para ahli waris).

Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menempuh jalan takwil ini dalam memahami Al- Qur‘ân, dan banyak mengambil istilah yang dipakai oleh orang-orang Syi’ah. Dengan demikian, kita mengetahui hubungan yang begitu erat antara orang Syi‘ah dan orang Sufiyyah”.7

Keempat. Pengagungan terhadap kuburan serta kunjungan kepada makam-makam merupakan salah satu dasar akidah Syiah. Mereka itulah golongan pertama yang membangun kuburan dan menjadikannya sebagai syiar mereka.8

Kemudian muncul orang-orang Sufi yang syiar terbesarnya adalah pengagungan terhadap kuburan, membangun dan menghiasinya, melakukan thawaf mengelilinginya meminta berkah dan meminta pertolongan kepada penghuninya. Bahkan kuburan Ma’rûf Al Kurkhi, seorang tokoh Sufi diyakini menjadi obat yang mujarab.9

Untuk mengetahui lebih mendetail mengenai hubungan erat antara golongan Syiah dan Tarekat Sufi, Dr. Kâmil Asy Syaiby telah membukukan sebuah kitab melalui pendekatan historis yang berjudul ash- Shilah Bainat Tashawwufi Wat Tasyayyu’.

Sisi persamaan antara Syiah dan Sufi tidak terbatas pada dimensi perkataan dan keyakinan saja. Akan tetapi juga merambah pada sepak terjang nyata yang dapat disaksikan lewat sejarah.

Kaum Syiah bahu-membahu dengan musuh (pasukan Mongol) untuk menghancurkan Daulah Islamiyyah ‘Abbasiyyah. Mereka kemudian menyebarkan ajaran zindîq dan ilhâd (kekufuran). Sampai pada akhirnya, Shalâhuddin al-Ayyubi Rahimahullaht berhasil menumpas salah satu dari kelompok mereka yaitu rejim al-’Ubaidiyyah yang berakar pada ajaran Majusi (penyembah api). Maka, kembalilah Daulah Islam ke pangkuan kaum muslimin.

Dan lagi, ketika kaum muslimin berusaha untuk membersihkan Daulah Islam dari para Salibis (kaum Nashara), orang syiah Rafidhah, Nashîr ath-Thûsi dan Ibnul ‘Alqami justru membantu pasukan Mongol untuk masuk ibukota Daulah Islamiyyah, Baghdad. Maka, timbullah kerusakan dan pembantaian kaum muslimin dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya.

Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata : “Musuh-musuh Islam, mereka berhasil masuk Baghdad karena bantuan dari kaum munafikin seperti kaum Isma’iliyyah dan Nushairiyyah (dari golongan Syiah pent). Mereka berhasil menguasai negeri Islam, menjadikan para wanita sebagai tawanan, merampas harta, menumpahkan darah dan kejadian memilukan lainnya. Ini dialami oleh kaum muslimin karena bantuan yang mereka berikan kepada musuh-musuh Islam…...10

Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Sufi. Setali tiga uang. Mereka juga banyak membantu musuh-musuh Islam untuk merebut negeri Islam dari tangan kaum muslimin. Sebagai contoh, ketika mereka membantu tentara Perancis untuk merebut kota Qairawân. Begitu pula, campur tangan mereka dalam mendukung pasukan Perancis menginjakkan kakinya di bumi negeri Aljazair. Bahkan salah seorang tokoh mereka, Syaikh Muhammad at-Tijâni, penerima amanat Ahmad At-Tijâni (pendiri golongan Tijâniyyah) untuk memegang tongkat kepemimpinan setelahnya, mengatakan pada tanggal 28 Dzulhijjah 1350 H : “Sesungguhnya wajib bagi kami untuk membantu tentara Perancis, yang kami cintai, baik secara materi, maknawi dan politis. Oleh karena itu, saya nyatakan di sini dengan penuh rasa bangga dan tanggung jawab bahwa kakek moyangku telah memilih jalan yang benar ketika mendukung pasukan Perancis sebelum mereka datang ke negeri kita, dan sebelum menjajah wilayah-wilayah kita”.?!

Masih banyak lagi peristiwa lain yang sangat merugikan kaum muslimin yang didukung baik dari kaum Syiah ataupun golongan Sufi. Ahli sejarah Islam, Ibnu Khaldûn Rahimahullah telah menyinggung perihal tersebut dalam tulisannya. Inilah beberapa titik persamaan Syiah dan Tarekat Sufiyyah sehingga jelaslah bagi kita bahwa mereka berasal dari sumber yang satu. Wallahul Musta’ân.

1 Dikutip dari al-Jamâ’at Al Islâmiyyah Fi Dhauil Kitâbi Was Sunnah Bifahmi Salafil Ummah karya Syaikh Saliim bin Id al-Hilâli hlm. 115-127 , Dârul Atsariyyah Th. 1425H-2004M dengan ringkasan.
2 Ad-Dîn Baina Sâil Wal Mujîb karya Al-Hajj Mirza al-Hairi al-Ahqaqi hal 89
3 Firaq asy-Syîah hal 38
4 al-Futûhât al-Makkiyah 1/37
5 Kamâluddin Tamâmunni’mah Ibnu Babuyah al-Qummi 1/208
6 al-Hukûmah al-Islâmiyah 53
7 At-Tasawwuf Wats-Tsaurah Ar-Rûhiyyah Fil Islâm
8 Rasâil Ikhwân Ash Shafâ
9 Thabaqât as- Shûfiyyah, as-Sulami hal 85
10 Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah 1/10-11

Read more...

BAHAYA BID'AH

Kesempurnaan Islam Tidak Butuh Penambahan

Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap. Islam mengatur berbagai sisi kehidupan manusia, mulai dari hal-hal besar seperti mengurus negara sampai hal-hal yang dianggap sebelah mata oleh manusia seperti tatacara buang hajat. Tidak hanya kaum muslimin saja yang mengakuinya, bahkan orang kafir pun mengakui kesempurnaaan Islam tersebut. Sungguh persaksian Allah bahwa bahwa Islam telah sempurna sebagai mana dalam surat Al Ma'idah sudah cukup bagi kita, dan sesuatu yang sempurna tidak memerlukan pengurangan ataupun penambahan sedikitpun. Bagaimana bisa sesuatu yang telah dibuat sempurna oleh Alloh masih ada yang bisa menyempurnakan lagi. Mengurangi ataupun menambah sesuatu maka mengkonsekuensikan kekurangnya. Simaklah baik-baik sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, "Tidaklah suatu amalan yang dapat memasukan seseorang ke surga dan menjauhkannya keneraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian semua." (Hadits Shohih. Diriwayatkan oleh At Thabrony dari sahabat Abu Dzar Al Ghifary)


Menambah Berarti Menganggap Islam Tidak Sempurna

Seorang yang tidak puas dengan syariat Islam dan ingin menambah-nambah dengan hal yang baru maka sengaja maupun tidak sengaja menyatakan bahwa Islam tidak sempurna! Saudaraku, itulah yang disebut dengan bid'ah. Ketahuilah para ulama telah mendefinisikan bid'ah sebagai perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, yang serupa dengan syariat akan tetapi tidak ada contoh sebelumnya dari para salaf, dan ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Para pembaca yang budiman, kiranya jelas kesesatan bid'ah didalam agama walaupun dengan dalih apapun. Hal ini telah jelas disabdakan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, "…Hati-hatilah kalian terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara baru itu bid'ah. Dan setiap kebid'ahan adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." (HR. Baihaqy, An Nasai)

Pembaca sekalian, tidakkah engkau dengar alangkah bagusnya ucapan Imam Asy Syafi'i tatkala beliau berkomentar mengenai masalah bidah. Beliau mengatakan, "Barang siapa yang menganggap baik urusan-urusan baru, maka ia telah membuat syariat."

Akibat Buruk Perbuatan Bid'ah

Sungguh dampak perbuatan bidah ini begitu besar, diantaranya:

1. Amalnya Tertolak.

Rosululloh bersabda, "Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu amalan itu tertolak." (HR. Bukhori Muslim). Alangkah meruginya orang yang berbuat bid’ah. Ia menganggap amalnya itu dapat mengantarkannya ke surga, tapi hakikatnya ia telah menempuh jalan kesesatan yang menghantarkan ke dalam jurang neraka. Perhatikanlah firman Allah tentang orang yang paling merugi, "Yaitu orang-orang yang berbuat kesesatan tatkala hidup didunia sedangkan mereka mengira berbuat kebaikan." (Al Kahfi: 104)

2. Termasuk orang terlaknat.

Nabi sholallohu 'alaihi wa salam bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara yang baru (bid'ah) atau mendukung pelaku bid'ah maka akan mendapatkan laknat Allah, para malaikat dan manusia semuanya." (HR. Bukhori dan Muslim)

3. Pelaku bid'ah tidak akan diterima taubatnya.

Nabi sholallohu 'alaihi wa salam bersabda, "Sesungguhnya Allah mencegah pelaku bid'ah melakukan taubat." (HR. Thobrony, Baihaqi). Hal ini dikarenaka pelaku bid'ah tidak sadar bahwa dirinya telah berbuat dosa dengan perbuatan bid'ahnya bahkan menyangka telah berbuat amal yang saleh, maka menjadi terbaliklah baginya antara yang benar dan yang salah.

Kaum muslimin sekalian, mengingat begitu besar bahaya bid'ah maka menjadi kewajiban bagi kita untuk berhati-hati untuk tidak membuat cara-cara baru dalam beragama. Sungguh, jika kita mau melaksanakan apa yang sudah dicontohkan Nabi, niscaya cukup bagi kita. Semoga Alloh membersihkan amal kita dari noda-noda bid'ah dan memasukkan kita ke dalam orang-orang yang berbuat sholih.

Tingkat pembahasan: Dasar
Penulis: Abu Abdillah Rudi


Read more...

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Newspaper II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP